Menyoroti kebijakan perpajakan dalam pemulihan ekonomi nasional
Pajak telah menjadi salah satu sumber pendapatan negara yang cukup besar. Karenanya di tengah pandemi Covid-19, negara telah menggelontorkan berbagai kebijakan perpajakan untuk menyiasati perekonomian.
Kementerian Keuangan RI (Kemenkeu) tengah mengembangkan program sinergi. Hal itu tidak lain sebagai upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, meningkatkan daya saing, meningkatkan kredibilitas dan efektifitas APBN, meningkatkan peringkat kemudahan berbisnis atau ease of doing business (EoDB) Indonesia, dan sebagai penggerak efisiensi layanan publik.
APBN 2021 difokuskan untuk percepatan pemulihan ekonomi skala nasional. Sebagaimana diketahui anggaran pemulihan ekonomi nasional (PEN) 2021 naik 21 persen. Anggaran ini akan difokuskan untuk efektivitas pemulihan ekonomi di lima bidang prioritas, yakni kesehatan, perlindungan sosial, program prioritas, insentif usaha, serta dukungan UMKM dan pembiayaan korporasi. Tidak cukup sampai di situ, insentif pajak juga diakui telah banyak digelontorkan untuk mengantisipasi dampak ekonomi ketika pandemi.
Pemerintah telah memulai agenda strategis yang disebut sebagai Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP), saat ini integrasi administrasi berbasis sistem IT. Terdapat beberapa tahapan yang coba dilakukan. Pertama, interlocking system yang merupakan ikhtiar pengawasan dan saling mengingatkan wajib pajak. Kedua, integrasi data antar unit di Kemenkeu dan Kementerian Lembaga terkait untuk memudahkan pelayanan perpajakan. Dan ketiga, Big Data yang merupakan ladang informasi untuk melakukan pelayanan, pengawasan, dan penegakan hukum perpajakan.
Perpajakan di kala pandemi
Mencermati fenomena perpajakan di kala pandemic. Kenapa sih harus ada revisi UU Perpajakan di tengah pandemi? Hal ini adalah momentum untuk memutus persoalan fundamental perpajakan di Indonesia. Tidak cukup sampai di situ, ini juga sebagai langkah reformasi pajak yang selaras dengan teori dan praktik. Selain itu, hal ini salah satu jalan untuk membantu pemulihan ekonomi, dan sebagai langkah untuk konsolidasi fiskal dan menuju disiplin defisit anggaran 3 persen pada tahun 2023.
Ada tiga persoalan yang paling besar di dalam industri pajak di Indonesia. Pertama, di tahun 2020, tax ratio Indonesia hanya sebesar 8,94 persen. Dengan begitu menempatkan Indonesia pada urutan tiga terendah di kawasan Asia Pasifik. Kedua, Tax Buoyancy (elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi) selama satu dekade sebesar 0,83 persen. Potensi pajak kita itu di tahun 2019 untuk pribadi sebanyak 58 persen yang belum didapatkan. Ketiga, sebagai masalah yang terakhir yaitu sejak 2009, target penerimaan pajak tidak pernah tercapai.
Tax ratio sebesar 15 persen juga menjadi acuan Indonesia untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Merujuk pada IMF Medium Term Revenue Strategy Indonesia (2018), reformasi pajak yang ada berbentuk dua hal, administrasi dan kebijakan. Dari dua hal tersebut hanya memberikan tambahan tax ratio sebanyak 5 persen. Akan sulit untuk mengejar pembangunan berkelanjutan jika tax ratio masih ada di angka itu.
Terdapat instrumen pajak yang dapat dicoba di tengah pandemi yaitu Pajak Solidaritas, merupakan pungutan tambahan yang bisa berupa subjek, obyek, dan/atau tarif baru di luar ketentuan pajak yang sudah ada. Tarifnya antara 2,5 sampai 15 persen dari pendapatan. Ini merupakan jenis pajak sementara untuk mengatasi persoalan suatu bangsa. Sejarahnya di Amerika Serikat ketika perang dunia 1 dan 2 mencoba menggunakan instrumen ini untuk membiayai perangnya. Oleh karenanya, mungkin bagi pihak yang merasa banyak memiliki kekayaan atas bumi di Indonesia, ini bisa menjadi salah satu opsi yang bagus.
Di sisi lain, yang jauh lebih penting adalah kepastian hukum pajak. Banyak pertanyaan yang bertebaran bahwa apakah insentif tersebut benar-benar dibutuhkan? Hal itu dinilai sangat dibutuhkan karena akan menunjang kepercayaan investor ketika ingin melakukan investasi. Ketika kita melakukan reformasi pajak, kepastian hukum pajak harus dibenahi terlebih dahulu.
Keberhasilan maupun kegagalan sistem pajak ditentukan oleh tarik menarik kepentingan antara stakeholders dalam mendesain sistem pajak yang tepat bagi solusi permasalahan ekonomi masing-masing negara. Di sini, peran pihak ketiga dalam reformasi pajak. Namun, sayangnya kita masih kekurangan pihak tersebut. Sangat prihatin tentunya, padahal pajak itu hampir 80 persen penerimaan negara dan sangat multidisiplin ilmu. Dalam artian tidak hanya dari akuntansi yang dapat mengklaim, tapi dari sisi hukum, ekonomi, dan ilmu lainnya.
Perspektif pemberlakuan pajak pada pelaku usaha
Dalam perspektif pemberlakuan pajak, pemerintah memang memiliki kemampuan dalam pembangunan. Namun, jangan sampai kebijakan yang niatnya untuk menaikan penerimaan pajak justru berdampak negatif ke proses pemulihan ekonomi yang saat ini sedang mendapatkan momentum untuk bangkit.
Kritik dan saran terhadap pemerintah juga turut disoroti. Diakui memang pemerintah telah hadir dalam mengeluarkan kebijakan mengenai insentif pajak selama pandemi. Tetapi dalam pelaksanaannya dinilai kurang optimal karena beberapa hal. Di antaranya sering berganti-ganti kebijakan, informasi kurang masif/tidak mudah dipahami, dan persyaratan yang membingungkan atau memberatkan Wajib Pajak (WP). Untuk itu, perlu adanya hotline bagi pelaku usaha.
Kesulitan utama dari para pelaku usaha adalah likuiditas sehingga berakibat pada penundaan pembayaran pajak. Dinilai oleh pelaku usaha bahwa perlu dipikirkan untuk penghapusan denda atas penundaan kewajiban pajak yang terutang selama pandemi Covid-19 atau atas hasil koreksi pajak.
Selanjutnya, pemberlakuan PPN diakui sangat memberatkan pelaku usaha karena margin sangat tipis dan tidak make sense. Di sisi lain, pelaku usaha harus mempertahankan harga jual untuk bisa tetap bersaing baik secara daring maupun luring saat ini. Perspektif para pelaku usaha mencermati bahwa bagi sektor perdagangan retail sebaiknya bukan dikenakan PPN akan tetapi pajak penjualan final sekian persen. Hal ini akan mempermudah pengusaha untuk menghitung pajaknya dan akan meningkatkan ketaatan pembayaran pajak.